Lompat ke konten

Persahabatan yang Indah

Oleh : Narendra Yudhistira Bagaskoro 

Seperti biasa, pagi ini indah di Palu. Langit masih kelabu. Udara sekitar terasa dingin menyentuh kulit. Burung-burung bersiul dengan riang menikmati pagi. Kicauannya menemani kegiatan manusia pada pagi itu. Rani terbangun melihat sejuknya udara pagi. Ibu sudah sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan. Ayah pasti sudah ada di kandang ayam memberi makan ayam peliharaannya. Rani mengucap syukur kepada Tuhan karena hari ini ia terbangun dalam keadaan segar bugar seperti hari-hari sebelumnya. 
Rani segera mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Kakaknya, Aria, sudah lengkap dengan seragam putih abu-abu. Aria memang selalu siap lebih dahulu karena harus mengantarkan koran setiap hari ke para pelanggan. Rutinitas itu sudah dijalani Aria sejak ia duduk di bangku sekolah dasar. Ia sangat berbeda dengan remaja lainnya. Selain menimba ilmu di sekolah, Aria juga harus berjualan koran dan mengantar koran kepada beberapa pelanggannya. Ia dikenal baik oleh teman-temannya dan juga mempunyai prestasi yang bagus dalam bidang olahraga, yaitu futsal. 
Tiitttt … tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil dari luar rumah. Itu menandakan Lili sudah datang menjemputnya. Rani segera beranjak dan berpamitan kepada ayah dan ibu sambil mencium tangan mereka. “Bapak, Ibu, Rani berangkat sekolah. Assalamualaikum,” pamit Rani kepada bapak dan ibunya. 
“Waalaikumussalam, hati-hati ya, Nak. Belajar yang tekun di sekolah,” sahut ibu Rani sambil mengantarkan anaknya sampai di pintu rumah. 
Rani berlari ke mobil yang telah menjemputnya. Ia sempat menengok ke belakang dan melambaikan tangan ke arah ibunya. Rani menaiki mobil itu dan sejurus kemudian mobil itu pun melaju ke sekolah. 

Dulu Rani pernah sakit hati dan marah dengan keadaan keluarganya yang sangat sederhana. Ia selalu membandingkan hidupnya dengan Lili. Lili anak orang kaya, tinggal di rumah mewah, hidup serba berkecukupan, menjadi sorotan, serta berangkat dan pulang sekolah selalu diantar oleh sopir pribadi dengan mobil mewahnya. Ia iri dengan kehidupan Lili. Rani merasa kehidupan yang dijalani Lili adalah kehidupan yang membahagiakan. 
Meskipun bergelimang harta, Lili tidak sombong. Demikian pula dengan orang tua Lili, mereka adalah orang yang baik dan ramah, tidak berpatok pada harta dalam bergaul, serta tidak membeda-bedakan orang di sekelilingnya. 
Yang aneh, walau tinggal di rumah mewah, Lili sangat betah di rumah Rani. Hampir setiap hari Lili mengunjungi 
rumah sahabatnya itu. Rani merasa penasaran. Ia menanyakan kepada Lili mengapa Lili betah berada di rumah yang sangat tua itu. 
“Ran, sesungguhnya ini adalah rahasiaku. Karena engkau adalah sahabat karibku, akan aku ceritakan sebuah rahasia dalam keluarga kami,” kata Lili dengan suara lirih. Rani makin penasaran dan bertanya lagi, “Apakah itu, Li? Rahasia apakah itu?” tanya Rani dengan tidak sabar. 
“Aku betah berada di rumahmu karena hanya di situ aku merasa mempunyai keluarga. Engkau tahu kami memang memiliki segalanya. Semua yang kami inginkan selalu dipenuhi oleh mama dan papa. Namun, kesibukan mereka telah menjerumuskan Kak Tanjung ke dunia narkoba. Kakak kecanduan narkoba. Mama dan papa selalu bertengkar apabila bertemu dengan Kak Tanjung. Mama dan papa jarang berada di rumah. Mereka selalu keluar kota hingga berhari-hari. Kami kehilangan kasih sayang,“ tutur Lili dengan berlinang air mata. Rani sedih mendengar penuturan sahabatnya itu. Tak terasa air matanya ikut jatuh. Ia merasa menyesal telah membuat Lili bersedih. “Maafkan aku, Li. Aku tidak bermaksud membuatmu 
sedih,” Kata Rani. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *